Permasalahan mengenai perkawinan hingga perceraian telah diatur dalam
sebuah Undang-Undang Perkawinan maupun peraturan perundangan lainnya. Dimulai
dari ditentukannya syarat yang menyertai suatu perkawinan sampai pada tata cara
apabila kemudian terjadi perceraian/pemutusan perkawinan. Adanya berbagai
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan menyangkut masalah perkawinan
hingga perceraian mengandung maksud agar setiap orang yang akan mengikatkan
diri dalam suatu perkawinan tidak hanya menganggap perkawinan sebagai suatu
hubungan jasmaniah saja.
1. Bagaimana penjelasa tentang Talak ?
2. Bagaimana penjelasan tentang macam-macam talak ?
Talak secara
bahasa memiliki pengertian
melepas ikatan dan memisahkan. Adapun secara istilah para ulama berbeda
pendapat dalam memberikan definisinya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa
menurut mazhab Hanafi dan
Hambali talak ialah
pelepasan ikatan perkawinan
secara langsung atau pelepasan
ikatan perkawinan di masa yang
akan datang. Secara langsung maksudnya adalah tanpa
terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak
tersebut dinyatakan oleh suami. Sedangkan “di masa yang akan datang” maksudnya
adalah berlakunya hukum talak tersebut
tertunda oleh suatu hal. Kemungkinan
talak seperti itu
adalah talak yang
dijatuhkan dengan syarat. Menurut mazhab Syafi’i talak ialah pelepasan
akad nikah dengan lafal talak atau
yang semakna dengan
lafal itu. Sedangkan
menurut mazhab Maliki talak ialah
suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Talak merupakan suatu yang disyariatkan dalam Islam berdasarkan
nash- nash yang terdapat dalam Alquran maunpun Alhadis. Adapun nash-nash di
dalam Alquran dan Alhadis yang menjadi dasar hukum talak yaitu;
1.
QS.
an-Nisā ayat 20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ
وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ
وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya:
“Dan kalau kalian ingin mengganti istri dengan istri yang lain sedangkan
kalian telah memberikan harta yang banyak kepada mereka (istri yang kalian
tinggalkan), maka janganlah kalian mengambil kembali sedikit pun darinya.
Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan (yang kalian buat) dan dosa
yang nyata? #
Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali,
padahal kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji
yang kuat dari kalian? “
2.
Hadis
yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dalam Sunan Ibnu Majah
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ
الْوَصَّافِيِّ
عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
Artinya:
“Telah menceritakan
kepada kami Katsir
bin Ubaid Al Himshi
berkata, telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidullah bin al-Walid Al-Washshafi
dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar ia berkata,
"Rasulullah Saw bersabda: "Perkara halal yang paling dimurkai Allah
adalah talak. (HR Ibnu Majah).
1. Rukun Talak
Rukun adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun
talak ada empat yaitu:
a) Suami Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya,
selain suami tidak berhak menjatuhkanya.
b) Isteri Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri
sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan pada isteri orang lain.
c) Shigat talak Sighat talak adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami
terhadap isterinya yang menjatuhkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun
kinayah(sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat, bagi suami
tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.
d) Qashdu (sengaja) Artinya bahwa dengan ucapan talak itu dimaksudkan oleh
orang yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain.
2. Syarat Sah Jatuh Talak
Talak akan dianggap sah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a) Syarat yang berkenaan dengan suami
v
Berakal Suami yang menjatuhkan talak atau yang
menceraikan isterinya harus dalam keadaan yang sehat dan berakal, artinya
seorang suami yang dalam keadaan hilang akal seperti gila, mabuk, dan
sebagainya tidak boleh (tidak sah) menjatuhkan talak.
v
Baligh Tidak dipandang jatuh talak apabila
yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa.
v
Atas kemauan sendiri Yang dimaksud atas
kemauan sendiri di sini adalah adanya kehendak pada diri suami untuk
menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan paksaan orang
lain.
b) Syarat yang berhubungan dengan isteri
v
Isteri masih tetap dalam perlindungan suami
v
Kedudukan isteri yang dicerai harus
berdasarkan atas perkawinan yang sah.
c) Syarat yang berhubungan dengan shigat
v
Shigat yang diucapkan oleh suami terhadap isteri
menunjukkan talak, baik secara jelas maupun sindiran
v
Ucapan talak yang dilakukan oleh suami memang
bertujuan untuk talak bukan maskud lain.
Perceraian
itu bisa dilakukan dengan berbagai cara dan mempunyai beberapa dimensi, sehingga
dalam mengadakan klasifikasi perceraian, pembagiannya tergantung kepada
berbagai segi peninjauan. Secara garis besarnya, pembagian tersebut terdiri
dari beberapa sudut pandang yang diantaranya ada yang membagi perceraian itu
dari segi orang yang berwenang menjatuhkan atau memutuskan perceraian, ada yang
dari sesuai atau tidaknya dengan sunnah Nabi, dari segi hak bekas suami untuk
merujuk kepada bekas isteri setelah terjadi perceraian dan ada pula yang
melihatnya dari segi waktu jatuhnya talaq setelah diucapkan talaq.
Ditinjau dari segi orang yang berwenang menjatuhkan atau memutuskan
perceraian, maka perceraian itu dibagi kepada:
1.
Yang
dijatuhkan oleh suatni, dinamakan talaq
2.
Yang
diputuskan atau ditetapkan oleh hakim dinamakan,fasakh.
Ditinjau dari segi boleh dan tidaknya suami rujuk dengan istrinya,
ulama fiqh membagi talaq menjadi dua, yaitu talaq raj’i dan talaq ba’in:
1.
Talaq
Raj’i
Menurut
Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk
kembali kepada isterinya (rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih dalam masa
‘iddah, baik isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak. Hal senada dikemukakan juga
oleh Ibnu Rusyd bahwa talak raj’i adalah suatu
talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri.
Pengertian sama dikemukakan Ahmad Azhar Basyir bahwa talak rajiy adalah talak
yang masih memungkinkan suami rujuk kepada bekas isterinya tanpa nikah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa talak raj’i adalah talak di mana si suami
diberi hak untuk kembali kepada isterinya tanpa melalui nikah baru, selama
isterinya itu masih dalam masa ‘iddah.
2.
Talaq
Ba’in
Talak
bain yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami
kembali kepada isterinya kecuali dengan nikah baru, talak bain inilah yang
tepat untuk disebut putusnya perkawinan. Ulama fiqh membagi talaq bain menjadi dua
, yaitu talaq ba’in sughra dan talaq ba’in kubra:
a. Bain sughra Ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas isterinya itu.
Atau talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan isterinya, tetapi ia
dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk bain shughra itu adalah sebagai berikut:
Talak
yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini tidak
memerlukan ‘iddah. Oleh karena tidak ada masa ‘iddah, maka tidak ada kesempatan
untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa ‘iddah.
Talak
yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak isteri atau yang disebut khulu’.
Perceraian
melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.
b. Bain kubra Yaitu talak yang telah dijatuhkan tiga. Atau dengan kata lain talak
yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan isterinya. Dia hanya boleh
kembali kepada isterinya setelah isterinya itu kawin dengan laki-laki lain dan
bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis ‘iddahnya. Yang termasuk talak
dalam bentuk bain kubra itu adalah isteri yang telah di-talak tiga kali, atau
talak tiga. Talak tiga dalam pengertian talak bain itu yang disepakati oleh
ulama adalah talak tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang
berbedaantara satu dengan lainnya diselingi oleh masa ‘iddah.
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Untuk
mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia
bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan
saling menjaga satu sama lainnya.
Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan
manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus
dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain.
Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai
suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian
mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh
kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum. Namun suatu saat
dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan
rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan halitu disebabkan oleh
para pihak sendiri maupun oleh pihak lain.
Perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal,
yaitu kematian, perceraian dan atas Keputusan Pengadilan. Meskipun dalam suatu
perkawinan kelak akan terjadi banyak masalah, tetapi alangkah lebih baiknya
kalau permasalahan itu masih bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, jangan
pernah berfikiran Pemutusan perkawinan adalah jalan satu-satunya. Kecuali
memang perkawinan ituputus disebabkan oleh kematian. kita tidak bisa
menolaknya. Karena kematian adalah hak prerogatif Tuhan.
Wahbah az-Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i Jilid 2, alih bahasa; Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz,
Cet 1, Jakarta: Almahira, 2010, h. 579. Lihat juga; Abu Malik Kamal, Fikih
Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, h. 230.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 53.
Wahbah az-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7.., h. 343.
Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibn Majah Jilid 1, Dar al-Fikr, tth,
h. 633.
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang prekawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), Cet ke-3, h., 159
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al A4uqtasid, (Beirut: Dar
Al-Jiil, 1409H/1989), Juz 11, h., 48
Ahmad Azhar Basyir, Hitkum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
h. 80
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances